Barangkali Itu yang Disebut Adaptasi - Dya Ragil

30 Juli 2017

Barangkali Itu yang Disebut Adaptasi

Belakangan ini, saya memikirkan kembali tentang apa yang sebenarnya saya harapkan dari perjalanan menulis saya selama lebih dari sepuluh tahun. Agak memalukan, memang, untuk menyerah terhadap inti diri kita hanya agar mendapatkan sesuatu bernama kepantasan di depan semua orang. Dan itu berlaku dalam banyak hal. Kepenulisan, juga kehidupan.

Barangkali itu yang disebut dengan adaptasi.

Awal saya tertarik pada dunia literasi--maksud saya, benar-benar tertarik dan bukan hanya sebagai penuntas kewajiban mengerjakan tugas Bahasa Indonesia--adalah ketika saya SMA. Dulu saya sangat suka menggambar, sampai pada tahapan dimintai beberapa teman untuk menggambarkan pesanan mereka. Gratis, tentu saja. Zaman segitu mana saya sempat berpikir untuk minta komisi, sih. Lagi pula, saya juga sadar, teman-teman saya tidak punya kemewahan untuk mendapatkan uang saku yang berlebihan, sama seperti saya. Apalagi saya cukup menikmati mengerjakan pesanan-pesanan itu. Senang juga ketika komik absurd yang saya gambar di buku tulis mendapatkan apresiasi mereka. Jadi, no harm done.

Namun, saya lelah, kadang-kadang. Saya sangat suka menggambar, tapi tangan saya tidak didesain untuk melakukan itu non-stop. Jadi, saya menenggelamkan diri di antara tumpukan buku di perpustakaan sekolah. Di sana, saya mulai berkawan dengan sastra-sastra klasik. Mulai berkenalan dengan puisi. Mulai berkisah dalam wujud tulisan tangan.



Baru pada awal masa kuliah menjelang akhir tahun 2005, setelah saya membaca ulang Harry Potter yang saya sewa dari taman bacaan, saya mulai tertarik untuk menuliskan cerita saya sendiri. Fantasi menjadi genre paling pertama yang--bahkan sampai detik ini--menjadi definisi identitas kepenulisan saya. Ironisnya, cerita pertama yang saya sebar ke publik lewat situs Kemudian bukanlah fantasi, melainkan religi. Namun, karena sempat terjadi "tsunami" yang memusnahkan beberapa akun--termasuk akun saya--di Kemudian, seluruh cerita saya pada saat itu lenyap ditelan bumi. Setelah saya membuat akun baru, saya memutuskan untuk kembali kepada identitas asli saya: penulis fantasi.

Kemudian terjadilah keironisan kedua dalam perjalanan kepenulisan saya.

Meskipun dua cerpen saya yang terbit dalam dua buku kumpulan cerpen yang berbeda adalah fantasi, dua novel pertama saya justru melipir ke arah cerita remaja. Seperti yang saya katakan di atas, barangkali itu hanya adaptasi. Saya cukup sadar diri bahwa dunia perfantasian Indonesia tidak segemilang luar negeri. Terutama jika merambah ke area high fantasy, di mana penulis harus membuat dunia sendiri yang benar-benar berbeda dengan bumi. Saya pun kehilangan harapan. Fantasi hanya saya jadikan sumber kenikmatan dalam menjalani ruwetnya kehidupan. Dan saat penerbit mayor beradu cepat mengadakan lomba-lomba novel remaja, saya memutuskan untuk menantang diri sendiri.

YARN (Young Adult Realistic Novel) dari Ice Cube Publisher menjadi yang pertama membuka jalan bagi saya. Meskipun apa yang dikisahkan dalam YARN adalah lika-liku kehidupan remaja dan dewasa muda, saya mendekap peluang itu erat-erat. GWP (Gramedia Writing Project) menjadi yang kedua. Perlahan, saya pun mulai menerima diri saya sebagai penulis non-fantasi.

Saya pikir, menyedihkan sekali, ya, kehilangan harapan untuk bisa mewujudkan semua cerita fantasi saya yang tersebar baik di Kemudian maupun di Wattpad (akun pribadi dan akun bersama) menjadi berbentuk buku. Indie menjadi pilihan, tentu saja. Namun, keterbatasan dana dan ketidakmampuan saya dalam hal marketing, sudah lebih dari cukup untuk membuat saya berpikir ulang.

Lalu, tempo hari--saya lupa kapan--percakapan dengan salah seorang editor membuat saya tersenyum. Harapan saya yang sempat lenyap selama bertahun-tahun, muncul kembali. Dan saya pun terpecut. Belum saatnya bagi saya untuk melepaskan impian itu: menjadi penulis fantasi.

Anehnya, semangat yang mendadak muncul itu berpengaruh pada naskah-naskah lain saya yang terbengkalai. Dan itu tidak hanya satu atau dua naskah. Dan nyaris seluruhnya bukan fantasi. Setelah menuntaskan perencanaan plot, saya sudah menjadwalkan untuk menyelesaikan tiga naskah hingga akhir tahun ini, dua di antaranya bukan fantasi. Itu aneh, sekaligus juga menyenangkan.

Sekarang, bagi saya, tidak penting lagi apakah novel saya yang berhasil terbit bergenre fantasi atau bukan-fantasi. Tidak penting. Sebab, orang-orang mengenal saya sebagai seorang penulis saja sudah merupakan kemewahan yang tak lagi tidak terjangkau.

Itu sudah lebih dari cukup.

Selamat malam~

1 komentar:

  1. Yaaak. Betul bangeeet. Aku juga akhir-akhir ini lagi menyelesaikan novel2 yang harusnya tidak selesai duluan. :)))

    Semua itu karenaaa yaaah, banyak godaan dan mengingat bahwa novel2 di Indonesia ada musimnya. Tapi sebenarnya nggak mau ngikutin pasar juga sih, cuma mungkin memang belum dapet segmentasi pasar yang sesuai aja.

    BalasHapus